Stall

Tadi sore saya diskusi dengan istri ketika nganter anak main. Muncullah pertanyaan sekelebat, kenapa banyak brands di Indonesia yang dibangun khususnya oleh teman-teman digital marketer, yang cepat sekali menghilang. Setelah melaju cepat, tiba-tiba anjlok.

Rasa penasaran ini kemudian sedikit banyak terjawab dalam salah satu artikel HBR (Harvard Business Review) berjudul: When Growth Stalls.

Stall adalah situasi yang menggambarkan sebuah pesawat ketika ia kehilangan daya angkat. Biasanya terjadi saat pesawat tersebut terlalu menanjak, melebihi “angle of attack”-nya.

Akibatnya, sebuah pesawat bisa secara tiba-tiba jatuh, menukik, dan hancur seketika. Itulah bahaya stall.

Nah dalam artikel tersebut terungkap fakta bahwa banyak perusahaan skala besar yang mengalami stall lebih karena faktor internal (87%) ketimbang faktor eksternal seperti perubahan kebijakan pemerintah dan sebagainya.

Dari sekian banyak hal, ada 1 yang ingin saya highlight; hal yang paling sering menyebabkan stall. Faktor ini bernama: “premium position backfires”.

Apa kaitannya dengan UKM?

Jadi begini.

Praktek yang paling sering dilakukan oleh pebisnis pemula/UKM adalah bermain market yang niche, alias narrow/sempit.

Kenapa? Karena mereka sulit bersaing dengan pemain raksasa yang menguasai channel distribusi.

Sudah menjadi hukum besi bahwa penguasa channel distribusi pasti akan bermain produk-produk komoditi yang cepat berputar.

Gambarannya, untuk sama-sama mendapat keuntungan Rp 100 juta, pemain raksasa mengutip keuntungan Rp 100 dari 1 juta transaksi. Sedangkan pemain kecil mengutip Rp 100.000 dari 1000 transaksi.

Logika simpel: Makin kecil keuntungan Anda, makin besar tuntutan Anda untuk merajai/menguasai jalur distribusi.

Mudah-mudahan sampai di sini Anda paham.

Jika Anda ingin mengambil margin besar (ingat besar & kecil relatif terhadap kompetitor di market), pada market mana Anda akan bermain?

Jelas segmen yang mendekati premium lah!

Anda akan mulai memainkan narasi-narasi premium. Membius customer dengan copywriting, packaging, dan segala ilmu-ilmu branding agar calon konsumen melihat itu sebagai hal premium 🤡

Kalau Anda jualan kopi, tentu Anda akan memosisikan diri lebih premium dari kopi Kapal Api dengan narasi benih kopi pilihan.

Kalau Anda jualan snack, Anda pasti menempatkan snack Anda lebih premium dari Chitato.

Singkat cerita Anda panen.

Sampai kemudian tiba masa konsumen Anda mulai “sadar” bahwa barang Anda tidak sepremium itu.

Atau lebih jauh lagi, konsumen Anda masih mengakui bahwa produk Anda premium, tapi mereka merasa bahwa mereka tidak lagi butuh yang premium.

Ini yang disebut premium position backfires.

Sindrom ini menjangkiti banyak brand. Kalau dalam artikel tersebut disebutkan bahwa banyak big company yang kena virus ini; diantaranya yang juga kita cukup kenal adalah Kodak. Brand yang bagai tikus mati di lumbung padi.

Ketika masa stall itu tiba, biasanya kita nggak begitu menyadari, sampai ketika kita sadar semuanya sudah terlambat.

Levis menyadari ketika revenue mereka turun dari $14B ke $8B.

Kodak sadar ketika sudah terlanjur investasi gila-gilaan membangun line production film projector yang ternyata konsumen tidak lagi meminati produk sepremium itu.

Brand XXX mulai sadar ketika rasio ATC nya makin lama makin drop 💀💀💀

—-

Ciri-ciri kita harus sudah mulai aware terhadap “virus” ini menurut artikel tersebut adalah:

0/ Ketika market share mengecil di dalam customer segment niche kita (susah diukur),

1/ Ketika ada kompetitor yang menggarap value yang sama dengan kita, namun di segmen ekonomi customer yang berbeda,

2/ Cost aquisition yang terus naik,

3/ Konsumen kita menolak untuk di-upsell atau di-upgrade.

Nah apa yang bisa kita lakukan?

Yang bisa survive adalah mereka yang “paranoia”. Selalu adaptif, membaca situasi market, dan take action segera ketika ada tanda-tanda bisnis Anda mulai tidak lagi relevan.

Kok ngeri mas?

Ya begitulah bisnis, “deritanya” tiada akhir 👻

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top