Generalis

Dulu sewaktu SMP, saya pernah diskusi pendek sebuah topik yang terasa “aneh” bersama teman selepas sholat dhuhur. Saya ditanya oleh dia: “Kamu nanti mau jadi orang yang generalis atau spesialis?”

Saya langsung berpikir dengan keluguan seorang anak SMP. Jawab saya: “enak jadi generalis, bisa banyak hal. Kalo spesialis kayaknya cuma ngerti satu aja”.

Diskusi itu kemudian berakhir, namun pembahasannya membekas di pikiran saya sampai puluhan tahun selanjutnya. Jawaban saya kala itu mungkin direkam oleh alam, dan menjadi pola yang membentuk banyak keputusan-keputusan saya dalam hidup.

Saat SMA saya suka komputer, sekaligus biologi, juga seni musik & menggambar. Saya suka belajar spiritual, dari berbagai believe system.

Waktu kuliah, beraneka ragam komunitas saya masuki, entah sekedar masuk daftar aja, atau sampai terlibat. Saya pernah menggagas demonstrasi bersama kelompok buruh, dan saya juga pernah ikut audisi paduan suara.

Intinya kehidupan saya benar-benar gak punya fokus.

Sampai di titik saya merasa unworthy. Saya merasa beberapa orang melihat hidup saya seperti tidak punya masa depan.

Orang lain punya “prestasi” dalam sebuah bidang yang ditekuni, saya nggak punya prestasi apa-apa. Saya merasa gak punya skill apapun, sementara orang lain hebat semua.

Masa-masa itu adalah masa yang penuh dengan roller coaster, kebimbangan, kegamangan. Ada istilah yang saya temukan waktu itu untuk diri saya sendiri, namanya: “Jack of all trades, master of none”.

Itulah yang membuat saya kemudian memutuskan, saya nggak bisa masuk dalam dunia kerja. Bukan karena saya nggak mau, tapi dalam hati saya terdalam saya merasa nggak mampu. Kasian employer saya nanti kalau punya karyawan seperti saya. Employer pasti berharap employee-nya punya skill, keahlian spesifik, kedalaman pengetahuan di satu bidang. Sementara saya, master of none.

Dengan kondisi psikologis yang tidak menentu, saya berusaha merapikan diri. Menjelang akhir kuliah, saya mencoba untuk fokus membangun sesuatu yang bisa dibangun dengan puzzle banyak pengetahuan. Apalagi kalau bukan bisnis.

Bahkan kemudian di dalam bisnis pun, saya masih keblondrok 😀 Bangkrut karena nggak punya pengetahuan spesifik di masalah manajemen keuangan dan manajemen operasi. Diakali partner, ditipu karyawan, menanggung utang segunung. What the f is going on with me?

Medio 2013 saya merenung sendiri, saya berpikir mungkin realita yang terjadi dalam diri saya saat itu adalah manifestasi dari pikiran saya yang masih mengalami disonansi. Saya merasa bahwa untuk sukses adalah harus menguasai suatu bidang, tapi alam bawah sadar saya menolak untuk fokus. Semacam terjadi perang batin.

Bersyukurnya di tahun itu saya sudah menikah. Saya mengamati istri saya yang hidupnya kayak stabil, gak ada drama. Saya observasi, dia mengonstruksi hidupnya melalui sebuah kebiasaan baik. Hal-hal kecil seperti bangun, olahraga, sikat gigi, memanajemen kegiatan sehari-hari, dll. Sangat berkebalikan dengan saya yang penuh surprise.

Saya putuskan kemudian untuk meniru, mencoba mengambil sebuah routine yang spesifik. Bukan keahlian, tapi kegiatan rutin.

Hipotesis saya, yang membuat saya bisa maju bukan sebuah skill, tapi sebuah kebiasaan. Kalau Anda mengikuti saya sudah lama, pasti tau waktu itu kegiatan yang saya ambil adalah olahraga freeletics. Saya bikin sebuah target kecil, turun berat badan.

Singkat cerita, berhasil. I can revive myself. Saya menemukan kembali kepercayaan diri. Semangat yang sama akhirnya terbawa sampai ke dalam bisnis. Saya berusaha untuk fokus pada proses dan pace, ketimbang euforia kemenangan sesaat. Pelajaran terpenting saat itu, untuk berhasil dalam sesuatu, saya tidak boleh mengalami disonansi. Antara alam bawah sadar dan atas sadar harus seirama.

Tibalah tahun 2019 ada puzzle lain yang terjawab.

Saya melihat sebuah buku berjudul Range yang ditulis David Epstein saat sedang ngurus website jualan jam 11 malam.

Saya terkaget-kaget ketika pertama kali membaca buku ini. Saya merasa seperti membaca potongan kisah saya, yang ternyata amat sangat banyak orang di seluruh penjuru dunia punya sistem berpikir mirip saya.

Buku ini menjelaskan tentang bagaimana seseorang yang “generalis” bisa survive. Hal ini tentu mengisi kekosongan dalam mental saya. Lah ini kan saya banget, topiknya beneran untuk saya! Kira-kira begitu monolog saya.

Semakin saya baca buku ini, semakin saya optimis bahwa “klan” orang yang generalis ini bukan orang-orang buangan yang gagal membangun kapasitas. Saya harus menerima dengan lapang dada kalau saya termasuk dalam golongan orang-orang ini. Ada tipe keberhasilan juga yang bisa dicapai oleh mereka.

Penerimaan yang baru ini membuat disonansi saya semakin hilang. Saya merasa selaras.

Dulu saya merasa terintimidasi dengan “winner never quit, and quitters never win”. Kenapa, karena saya sering ingin quit karena saya merasa nggak relevan, tapi karena quote itu jadi berusaha untuk melawan.

Setelah baca buku ini, quit is ok. The more you try many things, the clearer your destination.

Buku ini juga menjabarkan bahwa Anda tidak perlu terlalu grit sejak dini. Grit adalah istilah Angela Duckworth yang artinya kurang lebih “ketabahan”. Komponen grit ada 2: passion dan perseverance.

Jika Anda sudah benar-benar klik (passion) dengan apa yang Anda ingin lakukan, maka lakukanlah. Tapi kalau Anda belum melihat banyak hal dan mencobanya, maka nggak perlu terlalu gigih (perseverance) lah.

Anda akan gigih sendiri kalau memang akan klik dengan apa yang Anda kerjakan. Kira-kira gitu.

Ada banyak hal lain yang dibahas di buku ini yang menarik by the way, tapi sebaiknya Anda membacanya sendiri agar lebih meresap; apalagi jika Anda merasa memiliki karakter belajar yang “generalis” seperti saya.

====

Notes: hati-hati membaca tulisan ini, kalau salah persepsi Anda bisa menganggap saya setuju bahwa dalam hidup gak perlu kerja keras, dan quit lah sesuka hati 🙃

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top