Cobra Effect

Entah benar atau tidak, ada sebuah anekdot menarik dari tanah India. Dahulu kala ketika masa penjajahan Inggris di India, pernah ada satu masa dimana banyak kejadian penduduk yang mati karena digigit ular kobra.

Singkat cerita, karena peristiwa ini meresahkan, pemerintah akhirnya mengeluarkan sebuah kebijakan: tersedia hadiah kepada warga yang berhasil menangkap ular kobra.

Warga mulai menangkap dan membunuh ular kobra dan menyerahkannya ke pemerintah. Everybody happy.

Tak lama berselang, ternyata beberapa warga menyadari, lebih mudah beternak kobra daripada menangkapi yang liar. Alih-alih menangkap ular, mereka kemudian malah beternak dan menghasilkan steady income dari kebijakan pemerintah tersebut.

Pemerintah pusing. Lalu dibatalkan kebijakan itu.

Eh kemudian malah lebih parah. Warga yang sudah kadung beternak kobra, melihat tidak ada lagi insentif dari beternak kobra, akhirnya melepaskan semua ularnya. Akhirnya jumlah ular kobra malah lebih banyak dari sebelumnya.

Peristiwa ini terkenal dengan nama: cobra effect. When something intentionally good, eventually ends bad.

Kalo yang pernah nonton serial Black Mirror di Netflix akan lebih mafhum dengan cobra effect. Coba deh nonton.

Oke, sekarang kenapa mas Army bahas ini? Saya mau merefleksikan hal diatas kepada kebiasaan kita.

Terkadang yang kita butuhkan untuk berhasil malah berkebalikan secara intuitif. Maksudnya begini. “Wah, kalau saya mau berhasil, maka saya harus follow orang-orang sukses nih. Follow FB, follow IG, dsb”.

Padahal mungkin kita sudah overwhelming dengan motivasi dan ilmu. Tanpa sadar mungkin ilmu kita sudah banyak dan sudah cukup untuk mengantarkan kita menuju apa yang kita visualisasikan sebagai keberhasilan.

Jadi, yang tadinya sebuah hal tersebut harusnya bermanfaat, malah berlawanan dengan kenyataannya terhadap diri kita.

Nonton success story, mendengarkan petuah si X, termasuk mungkin baca status saya ini, malah bisa jadi berakhir buruk untuk anda.

Lalu gimana mas? Apa saya harus unfollow banyak orang? Stop membaca banyak buku? Berhenti kopdar?

Kalau saya, seringnya gitu.

Bukan benci dengan buku atau orang tersebut. Tapi saya ingin memastikan saya masih berada di track yang benar. Saya ingin memastikan saya tidak terlalu lama berjoget di permainan gendang orang lain. Dulu saya suka membaca dan menyimak success story orang lain, from zero to hero, bersemangat melihat kesuksesan orang lain, dsb. Sampai di satu titik, this is become addiction, and it has to be stopped.

Influencer, tokoh di FB, selebgram, penulis buku, setiap hari mereka ingin membangun engagement. Karena memang itu bisnisnya. Menarik banyak followers. Kita adalah objek bisnis mereka. Mereka lagi bekerja. Mencetak pundi-pundi. Kita? Sedang mencari oase. Kelamaan di oase, kapan kita berjalannya? Kapan sampenya?

Sesekali berada disana, it’s ok. Tapi kalau setiap detik, bukan hal yang baik untuk diri kita.

Bisnis dibangun dari keputusan ke keputusan. Good or bad, keputusan lah yang akan mengantar kita to the next step. Terlalu lama kita mengalami distraksi dari mereka, akan semakin lama kita mengambil keputusan.

Oleh sebab itu, sekarang saya menyaring hal-hal yang masuk di kepala saya. Apapun yang saya baca, dengar, atau ikuti, sebisa mungkin harus bisa berdampak pada kualitas keputusan yang saya hasilkan. Bisa memutuskan lebih baik dan lebih cepat.

Kembali ke cobra effect. Gimana cara agar hal ini tidak terjadi secara otomatis dalam diri kita? Setiap ada hal yang kita pikir baik untuk diri kita, selalu tanyakan di pikiran kita lagi: “Terus habis ngelakuin ini, akan ada apa dalam hidup gue? Gue harus ngapain nih?”

Dengan cara ini, kita akan bergerak dari sebuah keputusan ke keputusan yang lain. Cuma dengan cara ini kita bisa tumbuh.

Scroll to Top